Oleh Hidayatullah Muttaqin
Klaster PTM bermunculan seiring dengan dilaksanakannya sekolah tatap muka. Menurut data hasil survei internal Kemendikbudristek sebagaimana diberitakan Liputan 6 (24/9/2021), hingga 23 September sudah terjadi klaster Covid-19 di 1.303 sekolah selamat PTM terbatas atau 2,77% dari unit pendidikan yang melakukan pelaporan.
Klaster paling besar terjadi pada pendidikan tingkat SD yaitu sebanyak 44,74% dari 1.303 sekolah yang melaporkan adanya klaster Covid-19. Begitu pula jumlah guru dan murid yang diinformasikan positif Covid-19 paling banyak terjadi di SD dengan proporsi masing-masing sebesafr 43,45% dan 44,82%.
Klaster Covid-19 pada tingkat PAUD dan SD juga cukup besar yaitu sebanyak 19,75% dan 19,20% dari 1.303 sekolah seluruh jenjang yang dilaporkan mengalami klaster Covid-19. Ada 2.006 murid dan 956 guru PAUD yang dilaporkan terinfeksi Covid-19 dan 2.201 murid dan 1.482 guru pada tingkat SMP. Meskipun data ini belum terverifikasi dan menurut Kemenristekdikti bukanlah klaster sekolah, tetapi pola sebaran data tersebut menggambarkan ke mana arah risiko PTM jika diimplimentasikan.
Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka pada saat pandemi Covid-19 belum terkendali berisiko terhadap meningkatnya penularan bagi guru dan staf sekolah, murid dan keluarganya. Meskipun PTM dilakukan pada saat kasus Covid-19 sudah menurun risiko ini tetap ada bahkan boleh jadi PTM akan menjadi katalisator penularan virus Corona di masyarakat.
Trade-Off PTM dan Pelajaran dari AS
Kebijakan PTM di masa pandemi Covid-19 memang seperti “buah simalakama”. Pembukaan sekolah luring berpotensi mendorong penularan Covid-19, sebaliknya tanpa PTM dapat menyebabkan learning loss. Penelitian Afkar dan Yarror (2021) yang dipublikasikan Bank Dunia menyebutkan penutupan sekolah sejak awal pandemi hingga Juni 2021 dapat menyebabkan murid di Indonesia mengalami learning loss setara 0,9 tahun.
DI sisi lain, pembukaan sekolah tatap muka juga berimplikasi terhadap meningkatnya kasus Covid-19 pada anak. Menurut American Academy of Pediatrics (16/9/2021), di Amerika Serikat kasus yang menimpa anak meledak dalam jumlah sangat besar setelah pembukaan sekolah dan varian Delta.
Dalam kurun waktu 9-16 September, dilaporkan jumlah kasus pada anak mencapai 225.978 orang dan selama empat pekan ada 925.094 kasus. Ini artinya kasus baru pada anak di AS selama 28 hari, 20 Agustus – 16 September, naik 20% dari total kasus kumulatif pada 19 Agustus ke 16 September. Dibandingkan jumlah kasus baru anak pada 25 Juni – 22 Juli, maka kasus anak pada 20 Agustus – 16 September meningkat 10 kali lipat.
Dalam ilmu ekonomi, memilih antara kebijakan sekolah tatap muka atau tidak melaksanakan PTM di masa pandemi Covid-19 tersebut merupakan sebuah trade-off. Hal ini karena setiap pilihan berimplikasi kerugian. Tentu kedua pilihan tersebut akan menimbulkan keburukan pada anak secara langsung. Tetapi sangat penting bagi pembuat kebijakan, sekolah dan para orang tua untuk memilih opsi kerugian yang paling rendah di mana keselamatan nyawa manusia adalah tolak ukur utama.
Learning loss adalah hal yang sudah pasti dihadapi oleh anak-anak kita ketika sekolah tidak dilakukan secara normal. Tetapi kita bisa melakukan inovasi untuk mengurangi potensi learning loss dan mengejarnya begitu pandemi Covid-19 sudah mulai terkendali. Karena itu jika kita lebih disiplin dalam penanganan pandemi Covid-19 justru PTM akan semakin cepat dapat diimplimentasikan. Tidak seperti selama ini, pandemi belum terkendali pelonggaran dilakukan berkali-kali sehingga penularan terus mengalami kenaikan setelah sebelumnya menurun.
Kekeliruan Strategi PTM
Pelaksananaan PTM pada saat pandemi belum terkendali berisiko terhadap meningkatnya penularan Covid-19. PTM tidak hanya dapat menyebabkan munculnya klaster sekolah tetapi juga klaster keluarga dan meningkatnya penularan di masyarakat.
Ada beberapa kekeliruan kebijakan pelaksanaan PTM pada saat pandemi belum terkendali. Pertama terdapat kecenderungan masalah penularan virus Corona dipahami penanganannya hanya di sekolah khususnya di ruang kelas. Padahal dengan dilaksanakannya PTM itu akan memicu mobilitas pulang pergi guru dan murid dari rumah ke sekolah. Risiko mobilitas ini yang tidak menjadi perhatian. Meskipun misalnya sekolah hanya dilaksanakan selama satu jam saja, maka itu akan menciptakan pergerakan guru dan murid yang bisa saja ketika berangkat atau pulang dari sekolah mereka mampir ke berbagai tempat.
Kekeliruan kedua adalah pelaksanaan PTM dilakukan di semua jenjang pendidikan dalam hal ini termasuk PAUD dan SD. Padahal anak usia PAUD dan SD belum masuk dalam program vaksinasi. Meningkatnya kasus pada anak di Amerika Serikat sebagian besar menimpa murid yang belum eligible menerima vaksin. Risiko PTM pada anak usia PAUD dan SD adalah dari sisi tingkat kematangan berpikir yang menyebabkan mereka lebih sulit untuk memahami dan menerapkan protokol kesehatan.
Kekeliruan ketiga adalah PTM dilaksanakan meskipun capaian vaksinasi pada usia SMP dan SMU, guru dan masyarakat masih belum memadai. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, realisasi target vaksinasi kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan untuk seluruh kriteria per 26 September baru sekitar antara 15% hingga 48% untuk dosis 1 dan 7% hingga 28% untuk dosis 2. Pada tingkat provinsi, realisasi target Kalsel baru mencapai 26% untuk dosis 1 dan 15% untuk dosis 2.
Khusus realisasi target penduduk usia remaja, 12-17 tahun, baru tercapai antara 0,94% hingga 8,63% untuk dosis 1 dan 0,59% hingga 6,07% untuk dosis 2 pada kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. Sedangkan di tingkat provinsi baru mencapai 3,43% dosis 1 dan 2,08% dosis 2 dari target (bukan dari total populasi). Pada tingkat nasional, realisasi vaksinasi dosis 1 sudah mencapai 41,65% dan dosis 2 23,37%. Adapaun vaksinasi khusus usia 12-17 tahun baru mencapai 13,00 untuk dosis 1 dan 9,11% untuk dosis 2.
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat dengan capaian vaksinasi jauh lebih tinggi dari Indonesia, PTM dan varian Delta mendorong penularan masif Covid-19 pada anak usia sekolah. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American Academy of Pediatrics (AAP), vaksinasi di AS pada 26 September untuk seluruh kriteria target, dosis 1 sudah mencapai 64,30% dan dosis 2 sebanyak 55,3% dari jumlah penduduk. Sedangkan vaksinasi untuk anak-anak usia 12-17 tahun pada 22 September mencapai 55% untuk dosis 1 dan 45% untuk dosis 2.
Capaian vaksinasi AS yang kontras dengan Indonesia tetapi memiliki kasus Covid-19 pada anak-anak yang sangat besar seharusnya dapat menjadi pelajaran untuk kita. PTM di masa pandemi belum terkendali dan varian Delta memiliki potensi besar untuk mendorong penularan virus Corona pada anak usia sekolah yang selanjutnya menstimulasi penyebaran Covid-19 di dalam keluarga dan masyarakat.
Kasus kesakitan pada anak jika terpapar virus Corona memang relatif rendah dibandingkan orang dewasa dan penduduk usia lanjut. Tetapi jika terjadi keterpaparan yang lebih masif pada anak itu akan meningkatkan risiko bagi orang dewasa, khususnya para lansia dan yang memiliki komorbid tertentu. Atas dasar itu sebaiknya sekolah tatap muka yang sudah jalan sebaiknya ditunda untuk kemudian dirancang strategi PTM dan mitigasinya. []
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB ULM dan anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 ULM.
Tulisan ini dipetik dari rubrik opini media online Apahabar.com pada 27 September 2021.
Sumber gambar: Apahabar.com
About The Author:
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID