Hidayatullah Muttaqin

Oleh: Hidayatullah Muttaqin

Pada tahun 2019 status Indonesia naik menjadi negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income. Hal ini disebabkan naiknya GNI Perkapita Indonesia dari US$3.850 pada tahun 2018 menjadi US$4.050 pada 2019. Baru satu tahun berada di posisi upper middle income, Indonesia harus balik lagi menyandang status negara berpendapatan menengah bawah atau lower middle income pada tahun 2020. Pandemi Covid-19 penyebabnya yang memaksa perekonomian Indonesia berkontraksi pada kedalaman minus 2,07 persen.

Pandemi Covid-19 mengikis dengan cepat harapan Indonesia untuk bisa melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi (high income) pada waktu ke depan. Indonesia sepertinya akan terjebak dalam status negara berpendapatan menengah (middle income trap) dalam waktu yang lama. Bahkan boleh jadi akan stuck di posisi ini. Mengapa? Bagaimana Indonesia keluar dari middle income trap?

Merujuk pada data Bank Dunia, Indonesia pertama kali masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah pada tahun 1993. Indonesia kembali menyandang negara berpendapatan rendah (low income country) pada tahun 1998 karena krisis moneter dan ekonomi. Diperlukan waktu selama 26 tahun untuk naik level dari lower middle income menjadi upper middle income pada tahun 2019.

Ini menunjukkan diperlukan waktu yang lama bagi Indonesia untuk naik dari lower ke upper middle income dan kemudian balik lagi ke lower middle income. Untuk mencapai posisi negara berpendatan tinggi sebagaimana yang dimiliki negara-negara maju pada umumnya, Indonesia harus dapat melipatgandakan 3 kali dari posisi GNI Perkapita sekarang.

Tidak banyak negara berkembang yang berhasil keluar dari middle income trap, contohnya adalah Singapura dan Korea Selatan. Korea Selatan masuk ke dalam klasifikasi negara berpendapatan tinggi pada tahun 1995. Namun krisis moneter Asia 1998 memaksa Korea kembali ke dalam status middle income. Korea baru kembali masuk kelompok pendapatan tinggi pada tahun 2001.

Negara-negara berkembang yang berhasil keluar dari kondisi negara berpendapatan rendah kebanyakan terperangkap pada tingkat pendapatan menengah (middle income trap) karena tidak memiliki energi yang memadai untuk mengangkat dirinya ke level high income. Contoh paling gamblang adalah Brazil.

Pada tahun 1970 GNI Perkapita Brazil dua kali lipat dari Korea Selatan dan 5,5 kali pendapatan Indonesia. Menurut Filiipe, Kumar dan Galope (2014), Brazil sudah menyandang status Lower Middle Income sejak 1958 namun baru naik ke upper middle income pada tahun 2013. Ini artinya Brazil baru dapat bergerak dari lower ke upper middle income dalam waktu 56 tahun. Dan selama itu hingga sekarang, Brazil stuck dalam middle income trap.

Faktor fundamental yang menyebabkan banyak negara tidak dapat beranjak dari middle income trap adalah pendeknya “napas” pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut sehingga tidak dapat berlari dalam jangka panjang (long-run). Mungkin saja pertumbuhan di negara-negara berkembang mengalami booming, tetapi pertumbuhan tersebut hanya dapat terjadi dalam waktu singkat (short-run) sedangkan level high income masih jauh. Mengapa?

Kebanyakan negara-negara berkembang mengandalkan buruh murah dan Sumber Daya Alam untuk menarik investasi dan memasuki pasar ekspor. Negara yang bergantung pada ekspor berbasis Sumber Daya Alam atau komoditi primer akan menghadapi permasalahan klasik, yaitu sumber dayanya akan habis, indeks harganya cenderung menurun dalam jangka panjang dan terjadinya kerusakan lingkungan.

Negara berkembang tidak dapat memanfaatkan windfall gains dari commodity price booming untuk diinvestasikan membangun institusi dan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam institusi yang buruk perencanaan ekonomi dan pembangunan serta kebijakan publik menjadi tidak efisien. Korupsi dapat menggeser bagaimana proses pengambilan keputusan yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik dengan ukuran-ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan menjadikan kebocoran sehingga menghabiskan sumber daya dan waktu yang dimiliki negara tersebut dalam pembangunan. Di Indonesia, persoalan korupsi “bak gunung es”. Data dari Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia cukup rendah, berada pada peringkat 102 dunia pada tahun 2020.

Sementara itu di bidang pendidikan, kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia salah satunya digambarkan oleh rendahnya tingkat pendidikan mayoritas penduduk di mana sebagian di antaranya hanya lulusan Sekolah Dasar. Agar Indonesia dapat keluar dari middle income trap maka persoalan institusi dan SDM ini harus diperbaiki dengan serius. Sebab tanpa dukungan dua faktor fundamental tersebut maka kita tidak dapat melakukan penguasaan teknologi dan penciptaan inovasi yang merupakan unsur penting untuk memperkuat industri manufaktur dan produktivitas ekonomi terlebih di era digital saat ini.

Produktivitas ekonomi Indonesia yang diukur dengan menggunakan Total Factor Productivity (TFP) sangat rendah dan cenderung mengalami penurunan sepanjang waktu. Hal ini ditunjukkan data Asian Productivity Organization di mana nilai TFP Indonesia pada tahun 2018 adalah 0,73 sedangkan negara lain seperti China TFP-nya adalah 3,63, India 2,05, Singapura 1,55 dan Malaysia 1,13. Sementara itu dalam kurun waktu 1990-2010, rata-rata pertumbuhan per tahun TFP Indonesia minus 1,3 sedangkan dalam jangka 2010-2018 pertumbuhannya tetap minus 1,0.

Kondisi ini cukup memprihatinkan dan berakibat produk Indonesia cenderung kalah bersaing baik di pasar domestik maupun di pasar global. Di pasar global meskipun 80 persen lebih ekspor Indonesia ditopang hasil industri tetapi sebagian besar merupakan produk dengan nilai tambah rendah dan berbasis Sumber Daya Alam. Bahkan batubara dan minyak sawit (CPO) yang merupakan produk mentah (raw material) masih menjadi andalan ekspor Indonesia.

Di pasar domestik produk dalam negeri menghadapi tekanan produk impor khususnya buatan China yang “murah meriah”. Apalagi digitalisasi ekonomi tanpa disertai proteksi industri melalui regulasi yang tepat, produk-produk konsumtif impor semakin menjamur. Sebab masyarakat dapat dengan mudah melakukan impor langsung dari China hanya dengan berbelanja melalui aplikasi marketplace.

Atas dasar inilah dua poin penting untuk dapat terhindari dari middle income trap adalah bagaimana kita bisa memperbaiki institusi dan pendidikan. Institusi yang tidak kapabel tidak akan bisa melahirkan dan mengimplimentasikan kebijakan pendidikan yang baik. Anggaran pendidikan besar di bawah institusi yang buruk, cenderung mendorong terjadinya korupsi dan rent seeking. []

Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat

About The Author:

Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID 

Published On: 28 Agustus 2021Categories: ArtikelTags: , , ,