Oleh: Hidayatullah Muttaqin
Pemerintah Pusat melalui SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memutuskan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penyelengaraan pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021. Alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah Pusat adalah bahwa yang paling tahu kondisi, kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki adalah daerah itu sendiri. Hal lainnya yang cukup krusial dalam SKB tersebut adalah Peta Zonasi Resiko dari Satgas Covid-19 Nasional tidak akan digunakan dalam pemberian ijin pembelajaran tatap muka tersebut. Langkah Pemerintah Pusat melalui SKB ini membuat penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia semakin tidak terarah.
Seperti kita ketahui, pada masa awal terjadinya pandemi di China yang mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, para pejabat di pusat mengeluarkan berbagai pernyataan yang kontradiktif. Sikap para pejabat tersebut melambangkan ketidakseriusan dalam mengantisipasi potensi masuknya wabah virus Corona (SARS-CoV-2) di Indonesia. Bahkan kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat pada saat itu adalah mempromosikan pariwisata untuk menarik wisatawan dari luar negeri. Sebuah langkah yang ironis untuk mencegah masuknya virus Corona.
Pada akhirnya pemerintah secara resmi mengakui adanya penduduk Indonesia yang terinfeksi virus Corona pada 2 Maret. Namun terjadi tarik ulur yang berkepanjangan soal penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk pencegahan penularan dan penyebaran virus Corona. Pemerintah Pusat mengambil langkah tidak menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan dan memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB yang diterapkan pertama kali di DKI Jakarta mulai 10 April 2020.
Hampir dua bulan PSBB berjalan di sejumlah daerah, Pemerintah Pusat kembali membuat pelonggaran melalui strategi New Normal mulai bulan Juni untuk memberikan relaksasi ekonomi pada masa pandemi. Kebijakan New Normal yang kemudian istilahnya diralat menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru dilakukan pada saat kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin menanjak. Tentu ini langkah yang aneh dan menunjukkan tidak jelasnya arah penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Pada masa PSBB di bulan Mei yang lalu rata-rata setiap hari bertambah sebanyak 528 kasus baru. Sejak dimulainya New Normal, jumlah kasus baru bukannya menurun tetapi semakin menanjak. Pada bulan Juni, rata-rata kasus baru bertambah sebesar 997 kasus setiap harinya. Penduduk yang terinfeksi kemudian melonjak drastis pada bulan Oktober menjadi 3.970 kasus baru. Kini (20/11) jumlah penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19 sudah mecapai lebih dari 488 ribu orang dan dalam beberapa hari ke depan akan tembus lebih dari 500 ribu kasus. Adapun jumlah penduduk yang meninggal karena Covid-19 sudah mencapai lebih dari 15 ribu kematian.
Kebijakan pembukaan sekolah pada masa pandemi Covid-19 belum terkendali dan penghapusan Peta Zonasi Resiko sebagai acuan penetapan boleh tidaknya pembelajaran tatap muka menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah Pusat dalam upaya pengendalian pandemi Covid-19. Pertama, penanganan pandemi Covid-19 tidak hanya dilakukan dengan strategi yang tepat dan terukur, tetapi juga Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah harus memiliki arah penanganan yang “seirama”. Menyerahkan keputusan pembukaan belajar tatap muka kepada daerah akan membuat kerancuan penanganan pandemi.
Kedua, penghapusan Peta Zonasi Resiko sebagai salah satu kriteria boleh tidaknya daerah membuka pembelajaran tatap muka semakin menurunkan standar untuk melihat situasi pandemi Covid-19 di suatu daerah. Padahal Peta Zonasi Resiko ini sangat penting untuk memberikan informasi kepada pemangku kebijakan dan masyarakat akan tingkat kewaspadaan yang diperlukan untuk pencegahan penularan dan penyebaran infeksi virus Corona.
Ketiga, keberadaan Peta Zonasi Resiko justru harus diperkuat dengan meningkatkan angka testing Covid-19 sesuai kriteria WHO, yaitu sebanyak 1/1000 penduduk setiap minggunya. Permasalahannya adalah angka test PCR di Indonesia masih sangat rendah. Jika berdasarkan kriteria WHO, maka setiap minggu jumlah penduduk yang menjalani pemeriksaan PCR minimal sebanyak 267 ribu orang. Namun pemeriksaan PCR di Indonesia belum dapat memenuhi standar tersebut. Berdasarkan data Satgas Covid-19 Nasional, angka test PCR pada minggu II bulan November hanya mencapai 86 persen standar WHO. Bahkan pada minggu IV Oktober hanya mencapai 63 persen saja.
Selain belum memenuhi standar WHO, sebaran jumlah penduduk yang menjalani tes PCR juga tidak merata. Berdasarkan data dari KawalCovid19.id dan Corona.Jakarta.go.id, hingga 19 November dari sebanyak 3,5 juta penduduk yang telah menjalani tes Covid-19, sekitar 43 persen di antaranya atau hampir 1,5 juta orang merupakan penduduk DKI Jakarta. Sedangkan pada minggu II November, dari 233 ribu orang yang menjalan tes PCR, lebih dari 74 ribu adalah penduduk DKI Jakarta.
Keempat, angka positive rate nasional masih tinggi, yaitu sekitar 13 persen khusus bulan November. Angka ini masih jauh dari standar WHO yang menyatakan pandemi dapat dikatakan mulai terkendali jika positve rate berada pada level 5 persen ke bawah dalam waktu 2 minggu berturut-turut.
Kelima, anggapan bahwa Pemerintah Daerah sendiri yang paling tahu situasi pandemi di daerahnya kurang tepat. Sebab tidak sedikit daerah yang bermasalah dengan “alat ukur” untuk menggambarkan situasi dan kondisi pandemi, terutama terkait dengan kriteria WHO tersebut. Seperti jumlah testing yang sangat rendah jauh dari standar WHO dan positive rate yang sangat tinggi.
Di sebagian daerah di Indonesia ada kecenderungan semakin turunnya jumlah tes Covid-19 sejak bulan Agustus. Turunnya jumlah tes tersebut menyebabkan turunnya tambahan kasus baru di daerah-daerah tersebut. Ada kecurigaan penurunan tes PCR di berbagai daerah tersebut terkait dengan momen PILKADA.
Meskipun terjadi penurunan kasus baru penduduk yang terinfeksi virus Corona karena turunnya jumlah tes PCR, daerah-daerah tersebut mengalami positive rate yang sangat tinggi. Bahkan ada daerah yang angka positive rate-nya di atas 40 persen dengan jumlah tes yang sangat minim merasa pandeminya sudah terkendali sehingga ingin membuka sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana resiko pembukaan pembelajaran tatap muka untuk daerah dengan kondisi seperti itu.
Keenam, resiko penularan virus Corona tidak hanya dapat terjadi di dalam sekolah tetapi juga di luar sekolah. Meskipun misalnya suatu sekolah sudah sangat ketat dalam melaksanakan protokol kesehatan dalam proses pembelajaran, pihak sekolah tidak dapat mengontrol bagaimana resiko mobilitas guru dan murid saat berangkat dan pulang dari sekolah.
Data mobilitas penduduk Indonesia dari Google menunjukkan adanya peningkatan mobilitas penduduk sejak dimulainya New Normal pada bulan Juni hingga saat ini. Pembukaan pembelajaran tatap muka sudah pasti akan mendorong mobilitas penduduk semakin mengarah pada situasi seperti sebelum pandemi terjadi. Jika pada tahap awal pembukaan sekolah tatap muka misalnya diikuti oleh 10 persen murid dan guru dari tingkat dasar hingga SLTA, maka akan ada tambahan mobilitas penduduk sekitar 4,5 juta murid dan 290 ribu guru setiap hari.
Dengan demikian peningkatan mobilitas penduduk karena pembukaan pembelajaran tatap muka pada saat pandemi Covid-19 belum terkendali dengan “alat ukur” yang tidak standar memiliki resiko yang sangat tinggi. Sedangkan mobilitas penduduk merupakan sarana atau motor penyebaran dan pertumbuhan Covid-19 yang sudah ditunjukkan oleh berbagai riset.
Oleh karena itu, langkah Pemerintah Pusat membolehkan pembelajaran tatap muka pada saat pandemi belum terkendali mengukuhkan ketidakjelasan strategi pemerintah dalam penanganan pandemi. Pemerintah Pusat seharusnya semakin memperketat mobilitas penduduk pada saat kasus baru masih tinggi, bukannya sebaliknya justru mau membuka sekolah. Begitu pula pemerintah seharusnya mengejar masih rendahnya angka testing Covid-19 agar tercapai jumlah 1/1000 penduduk setiap minggunya di setiap daerah bukan sekedar angka agregat pada tingkat nasional.
Kebijakan pembukaan sekolah tatap muka ini ke depannya dapat menjadi sumber ledakan kasus positif Covid-19. Kondisi ini akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi kita. Pandemi Covid-19 yang tidak terkontrol menjadi lebih panjang dengan korban lebih banyak dari sisi kesehatan masyarakat, lebih besar ongkos ekonomi yang harus ditanggung, dan kelelahan psikis penduduk yang berkepanjangan. []
About The Author:
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID