NEWS ANALYSIS Banjarmasin Post 14 Maret 2022.
MENGENAI LOGO HALAL BARU
Berpotensi Hambat Sertifikasi
Hidayatullah Muttaqin – Dosen FEB ULM
Pada dasarnya merupakan kewajiban negara untuk menyediakan layanan sertifikasi halal atas produk konsumsi yang dipasarkan.
Mayoritas konsumen Indonesia adalah muslim sehingga masyarakat perlu jaminan produk yang beredar adalah halal dengan adanya tanda umum pada logo halal. Adanya logo halal menunjukkan produk tersebut sudah melalui proses pengujian ilmiah sehingga terbukti halal dan terdaftar pada bawan berwenang.
Dulu negara tidak memiliki peranan ini dan kebutuhannya berkembang seiring dengan munculnya beredarnya kasus makanan mengandung lemak babi pada tahun 1988. Karena itu umat Islam melalui Majelis Ulama Indonesia berinisiatif memecahkan persoalahan halal tidaknya suatu produk dengan mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI atau disingkat LPPOM MUI pada 6 Januari 1989.
Keberadaan LPPOM MUI diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama No. 518 dan 519 tahun 2001 bahwa MUI memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan audit, memberikan fatwa dan menerbitkan seritifkasi halal. Jadi negara mesti berterima kasih kepada MUI karena selama kekosongan peranannya dalam melayani konsumen, dibantu oleh organisasi yang didirikan para ulama dan ormas Islam.
Seiring dengan disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal maka kewenangan menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal pindah ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH di bawah Kementerian Agama. Peran MUI sendiri tidak hilang, karena MUI adalah partner BPJPH dan dilibatkan dalam proses penentuan kehalalan suatu produk, termasuk sertifikasi auditor halal.
Terkait penetapan label halal baru melalui Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 sangat disayangkan. Karena perubahan logo baru halal tersebut menyebabkan perdebatan dan penolakan di masyarakat. Hal ini langkah yang kontra produktif untuk mensosialisasikan BPJPH dan label halal itu sendiri.
Sesuai penjelasan kepala BPJPH, logo label halal yang baru mencerminkan ke-Indonesian dengan bentuk Gunungan dan motif Surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit. Sementara tulisan halal dalam kaligrafi bahasa Arab dihapus menjadi tulisan latin halal.
Tidak sedikit anggota masyarakat yang menilai ketidaklaziman penghapusan tulisan halal dalam bahasa Arab. Padahal selama ini lazimnya label halal baik di Indonesia maupun di luar negeri adalah tulisan dalam bahasa Arab. Kesan tidak bagus lainnya yang muncul di masyarakat adalah kesan Jawanisasi sehingga kebijakan soal logo halal di masa Menteri Agama Yaqut CholilQoumas dianggap bernuansa primordialisme ketimbang menyatukan umat. Lantas apa potensi dampak label halal baru tersebut?
Pertama, lokalisasi label halal di Indonesia dapat menyebabkan produk nasional tidak mudah diterima di pasar produk halal internasional. Karena konsumen luar tidak memahami produk dengan label lokal tersebut adalah label halal. Artinya logo baru ini berpotensi merugikan produsen dan UMKM lokal yang berorientasi ekspor.
Kedua, label halal baru yang banyak mendapat penolakan dari masyarakat akan menyulitkan kerja BPJPH itu sendiri. Kondisi ini berpotensi akan menghambat upaya percepatan sertifikasi halal. Kita berharap pemerintah peka dengan suara masyarakat tersebut dan memperbaiki label halal.
About The Author:
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID