Tulisan ini merupakan reposting dari tulisan di Jurnal-Ekonomi.org yang diterbitkan pada 10 Maret 2011
Oleh: Hidayatullah Muttaqin
Pengantar
Ketika menjalankan pembangunan ekonomi hal pertama yang harus jelas adalah bagaimana konsep yang digunakan? Begitu pula suatu konsep ekonomi yang telah diadopsi seperti di Indonesia, maka harus ada evaluasi untuk menilai apakah konsep yang diimplimentasikan tersebut benar dan mampu memecahkan masalah ataukah justru sebaliknya?
Dalam realitasnya pembangunan ekonomi yang dilaksanakan di Indonesia ternyata tidak dapat memecahkan permasalahan ekonomi. Waktu 65 tahun kemerdekaan, potensi SDM, SDA, luas wilayah, dan posisi yang strategis tidak dapat digunakan untuk memecahkan problem ekonomi kita, justru permasalahan semakin kompleks dan besar. Untuk itu harus ada penggalian konsepsi ekonomi yang baru untuk menggantikan konsepsi yang sudah ada. Ekonomi Islam merupakan salah satu konsepsi ekonomi yang patut dipertimbangkan untuk menggantikannya.
Konsepsi Syariah
Konsepsi ekonomi Islam berbeda dengan konsepsi ekonomi Kapitalis atau yang biasa disebut dengan ekonomi konvensional. Perbedaan itu tidak hanya mengacu pada aspek akidah atau asas, tetapi juga meliputi standar nilai, dan metode untuk mengaplikasikannya.
Konsepsi ekonomi Islam mengacu pada syariah yang menjadi aturan agama kita. Sebab setiap perbuatan manusia termasuk kebijakan ekonomi dan pembangunan, serta aktivitas ekonomi masyarakat harus terikat hukum syara’.[1]
Dalam hal bagaimana memecahkan problem ekonomi dan membangun konsepsi ekonomi menurut Islam, Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya yang monumental an-Nizham al-Iqtishadi fii al-Islam mengemukakan pada dasarnya metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan ekonomi adalah sama dengan metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan hidup manusia lainnya.[2] Artinya dalam seluruh bidang kehidupan manusia beserta problem-problem yang dihadapinya metode pemecahannya adalah sama, yakni dengan menerapkan hukum syariah. Yang berbeda hanya bidang atau obyek yang dihukumi bukan syariahnya.
Inti permasalahan ekonomi yang harus dipecahkan adalah permasalahan perolehan kegunaan (permasalahan ini berasal dari pandangan kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan) untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam rangka mempertahankan hidup. Karena itu diperlukan suatu mekanisme yang mengatur dan mengarahkan manusia agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Dalam hal ini manusia dipandang sebagai individu yang harus dipenuhi kebutuhan hidupnya secara menyeluruh sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia bukan dipandang secara kolektif.[3]
Untuk memecahkan permasalahan ekonomi tersebut an-Nabhani menggariskan perlunya hukum-hukum yang mengatur kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (disebut juga tiga kaidah perekonomian), serta suatu politik ekonomi dalam rangka pemecahan permasalahan ekonomi.[4]
Adapun politik ekonomi Islam merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi setiap orang sebagai manusia yang hidup dengan interaksi-interaksi tertentu, serta memungkinkan orang tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan gaya hidup tertentu yakni yang berlandaskan syariat Islam.[5]
Paradigma Ri’ayah
Paradigma ri’ayah adalah paradigma yang menjadikan pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat sebagai mindset kebijakan (ri’ayatu as-su’un al-ummah).[6] Maksudnya setiap pemegang kebijakan pemerintahan dia harus menjadikan kebijakannya dalam rangka pemeliharaan urusan rakyat. Dalam konsepsi Islam, maka pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat tersebut dilakukan menurut syariah.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.”
Dengan paradigma ri’ayah kebijakan ekonomi dan pembangunan serta pengambilan keputusannya berorientasi pada pemenuhan dan penjagaan urusan ekonomi rakyat dengan standar halal haram. Dengan paradigma ini juga, maka problem ekonomi dan kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari politik. Sebab pengambilan keputusan atas suatu kebijakan ekonomi dan pembangunan merupakan wilayah kewenangan pemerintahan yang tidak lain merupakan lembaga politik. Sehingga membahas ekonomi Islam tidak boleh dilepaskan dari pembahasan tentang politik atau pemerintahan. Dengan kata lain tidak boleh kita membahas ekonomi dalam sudut pandang Islam tetapi di sisi lain konsepsi sistem politik yang diadopsi justru konsepsi Kapitalisme dan sekularisme. Jika ini yang dilakukan maka ekonomi Islam atau apa yang disebut ekonomi syariah tidak pernah jadi dan tidak pula dapat memecahkan problem ekonomi. Dengan paradigma ri’ayah pemerintah memikul tanggung jawab besar yakni memecahkan problem dan berposisi sebagai perisai yang melindungi rakyat. Bagaimana tanggung jawab pemerintahan dalam Islam atas rakyatnya digambarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab berikut ini:
“Andaikan ada seekor hewan melata di wilayah Irak yang kakinya terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggung-jawabanku karena tidak memperbaiki jalan tersebut.”7]
Dalam konteks kepemimpinan dan pembangunan yang telah dijalankan selama ini, kita merasakan lambatnya pemerintah melakukan pelayanan terhadap rakyatnya. Misal bila ada jalan umum yang rusak maka harus menunggu waktu yang cukup lama untuk memperbaikinya. Kebijakan ekonomi juga terkesan tidak adil sebab pertumbuhan ekonomi dijadikan acuan dalam pembangunan yang mengakibatkan kebijakan lebih berpihak kepada para investor daripada rakyat. Akibatnya pembangunan justru melahirkan kemiskinan dan ketimpangan.
Pandangan Islam tentang Ekonomi
Menurut an-Nabhani, ekonomi merupakan kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik menyangkut kegiatan untuk memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga pengadaannya yang dibahas dalam ilmu ekonomi, maupun kegiatan yang mengatur mekanisme distribusi kekayaan yang dibahas dalam sistem ekonomi. Berdasarkan hal ini maka pembahasan tentang ekonomi harus dipisahkan menjadi pembahasan tentang ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi.[8]
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang membahas tentang produksi dan kualitasnya serta bagaimana menentukan dan memperbaiki sarana-sarananya. Ilmu ekonomi bersifat universal karena merupakan sains murni yang tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu.[9] Sedangkan yang dimaksud dengan sistem ekonomi membahas bagaimana distribusi kekayaan dan kepemilikan, serta transaksi yang berkaitan dengan kekayaan tersebut. Sistem ekonomi bersifat khas dan dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu.[10]
Dalam ruang lingkup sistem ekonomi inilah Islam menetapkan adanya syariat. Dengan demikian, dalam konsepsi ekonomi Islam hanya berbicara tentang masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, mengelola kekayaan, dan bagaimana mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan hal ini hukum-hukum yang berkaitan dengan ekonomi dibangun berdasarkan pada tiga kaidah, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya ketiga kaidah ini disebut kaidah perekonomian.[11]
Sistem Kepemilikan
Kepemilikan atas kekayaan hakikatnya adalah milik Allah. Allah melalui hukum-hukum-Nya telah menyerahkannya kepada manusia untuk diatur dan dibagikan.[12] Kepemilikan dalam Islam meliputi tiga jenis, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Hukum syara atas ketiga jenis kepemilikan ini berbeda.
Kepemilikan individu merupakan hukum syara yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu sehingga siapa saja dapat memanfaatkan dan memilikinya.[13] Pengakuan Islam atas kepemilikan individu merupakan pengakuan atas fitrah manusia itu sendiri yakni naluri mempertahan diri. Namun Islam mengatur kepemilikan individu sehingga seseorang tidak menzalimi orang lain ataupun merusak kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Dengan aturan ini, maka individu tidak boleh menguasai aset-aset ekonomi yang termasuk ke dalam kepemilikan negara dan kepemilikan umum.
Kepemilikan umum adalah izin Allah kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, yakni benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan, dan Allah melarang benda tersebut dikuasai oleh individu (swasta). Benda-benda kepemilikan umum ada tiga macam, yaitu:[14]
- Fasilitas umum yang jika tidak terdapat dalam suatu komunitas dapat menyebabkan sengketa untuk mencarinya.
- Bahan tambang yang jumlahnya tak terbatas.
- Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu (swasta).
Kepemilikan negara adalah harta yang menjadi hak kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khilafah, dimana khalifah dapat mengkhususkan sesuatu kepada kaum muslimin sesuai dengan apa yang menjadi pandangannya. Adapun harta-harta yang menjadi milik negara antara lain harta fai, jizyah, kharaj, dharibah.[15]
Pembentukan Struktur Ekonomi
Problem-problem ekonomi seperti kemiskinan dan ketimpangan merupakan problem yang timbul dari kekacauan struktur ekonomi. Inti masalahnya terletak pada distribusi kekayaan sehingga untuk memecahkan harus fokus pada masalah ini. Untuk itu bagaimana pembentukan struktur ekonomi yang menjadi domain kebijakan negara harus mengacu pada konsepsi ekonomi Islam. Sedangkan pembentukan struktur ekonomi ini merupakan faktor utama penentu keberhasilan pembangunan.
Struktur pertama yang harus dirombak adalah struktur sistem kepemilikan. Pembagian sistem kepemilikan menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum merupakan langkah pembentukan struktur ekonomi yang sangat penting.
Selama ini pembangunan di negeri kita menghasilkan orang-orang super kaya di satu sisi dan kemiskinan di sisi lain sehingga terjadi ketimpangan yang sangat lebar. Empat puluh orang terkaya di Indonesia sebagaimana laporan Forbes terbaru memiliki kekayaan setara 60% APBN Indonesia. Sebagian besar kekayaan mereka diperoleh dari penguasaan SDA yang dalam ekonomi Islam sebenarnya tidak boleh dikuasai individu melainkan harus dikelola negara. Inilah yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan akibat struktur ekonomi yang dikuasai sekelompok kecil orang saja.
Barang tambang, hutan, dan migas masuk dalam harta milik umum yang harus dikelola negara. Hasil dari pengelolaan kepemilikan umum tersebut digunakan sebagai sumber pemasukan APBN untuk membiayai pembangunan.
Banyak korporat asing dan swasta yang menjadi besar dan sangat kaya karena selama ini mereka diberikan kuasa untuk mengelola pertambangan dan migas. Misalnya ExxonMobile yang bergerak dalam sektor migas memiliki pendapatan empat kali APBN Indonesia.
Contoh lainnya Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai produsen batubara nasional, pada tahun 2009 berhasil mengekspor batubara senilai US$ 4,4 miliar atau sekitar Rp 40 trilyun. Namun hasil ekspor tersebut yang nilainya 20 kali dari APBD Kalsel tidak jatuh ke tangan negara melainkan ke tangan investor.
Struktur kedua yang harus dirombak adalah yang berkaitan dengan masalah pengembangan kekayaan atau investasi. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan.
Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syari dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak, serta tidak ada kegiatan ekonomi yang terakit dengan riba, judi, dan spekulasi. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. Al-Baqarah 275.
Struktur ketiga adalah terciptanya suatu kondisi di mana setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Politik ekonomi Islam harus menjadi basis kebijakan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah politik yang menjamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Politik ini mencegah kebiijakan negara yang pro pertumbuhan dan pemilik modal, serta anti rakyat sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.
Kesimpulan
Berdasarkan konsepsi ini maka peranan negara menjadi sangat penting dalam mengaplikasikan ekonomi Islam. Tanpa negara, ekonomi Islam tidak akan dapat berkontribusi untuk memecahkan masalah ekonomi dan pembentukan struktur ekonomi yang adil. Begitu pula tanpa meng-Islamkan negara tidak dapat juga Islam menjadi poros kebijakan ekonomi dan pembangunan. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS]
[1] Lihat Muhammad Muhammad Ismail, Refreshing Pemikiran Islam, (al-Fikru al-Islamiy), alih bahasa A. Haidar, cet. i, (Bangil: Al-Izzah, 2004), hal. 65-69.
[2] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (an-Nizham al-Iqtishadi fii al-Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. vii, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), hal. 45-46.
[3] Lihat Ibid, hal. 50 dan 52.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hal. 53.
[6] Lihat Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, (Afkaru Siyasiyyah), alih bahasa Abu Faiz, cet. i, (Bangil: al-Izzah, 2001), hal. 11.
[7] ibid, hal. 127.
[8] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
, hal. 47.
[9] Menurut an-Nabhani, Islam tidak campur tangan dalam ilmu ekonomi maksudnya syariat Islam tidak mengatur ilmu ekonomi karena Islam tidak menentukan bagaimana produksi dilakukan. Tidak ada nash–nash syara yang menjelaskan campur tangan dalam produksi.
[10] Ibid, hal. 16.
[11] Ibid, hal. 61.
[12] Ibid.
[13] Ibid, hal. 66
[14] Ibid, hal. 237.
[15] Ibid, hal. 243.
About The Author:
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID