Dalam era disrupsi ekonomi terjadi perubahan penggunaan tenaga kerja pada kegiatan produksi, perdagangan dan jasa. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang menghasilkan sistem automasi tidak hanya mengancam pekerja kasar dan manual (blue-collar) tetapi juga pekerja dengan kualifikasi pendidikan dan skill tinggi (white-collar).
Disrupsi tersebut pada satu sisi memang menimbulkan ancaman tetapi di sisi lain juga melahirkan peluang. Karena itu disrupsi disambut dengan memitigasi ancaman dan memperbesar adanya peluang.
Satu garis yang jelas adalah disrupsi ekonomi akan membuat semakin sedikit jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam satu unit usaha. Untuk itu melipatgandakan jumlah unit usaha adalah strategi yang penting dalam mempertahankan jumlah lapangan kerja.
Pada tahun 2019, di Indonesia terdapat 65,47 juta unit usaha. Sebanyak 98,67% merupakan Usaha Mikro dan 1,22% Usaha Kecil (UMK), serta 0,10% Usaha Menengah dan 0,01% Usaha Besar (UMB).
Melipatgandakan jumlah unit usaha berarti meningkatkan peluang warga negara terjun berbisnis. Tentu ini melibatkan aspek entrepreneurship, peluang pasar, akses modal dan teknologi, rantai pasok, packaging dan pemasaran.
Kemudian mendesain UMK lebih banyak dalam kegiatan produksi dan jasa. Model ini berdampak lebih besar terhadap perekonomian dibanding jika mayoritas UMK berada dalam perdagangan saja.
Berikutnya adalah scale up lebih banyak Usaha Mikro yang naik kelas ke Usaha Kecil, dan Usaha Kecil ke Usaha Menengah. Begitu pula Usaha Menengah melompat menjadi Usaha Besar. []
Unduh file PDF Catatan Hidayatullah Muttaqin 2 Februari 2023: Ancaman Disrupsi Ekonomi terhadap Lapangan Kerja dan Strategi Menghadapinya
About The Author:
Hidayatullah Muttaqin adalah dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, anggota Tim Pakar Covid-19 ULM dan Tim Ahli Satgas Covid-19 Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2020-2022. Email: Me@Taqin.ID